Rabu, 28 November 2018

Menjaga Tradisi Mencapai Harmoni

Dayak Wehea adalah satu dari 405 sub-rumpun suku Dayak di Kalimantan. Bila ditarik garis ke atas, ratusan sub-rumpun itu mengerucut menjadi enam rumpun besar, yaitu Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan, dan Punan. Walau memakai nama dan bahasa berbeda-beda, semua sub-rumpun itu punya kesamaan budaya. Yaitu: rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kapak Dayak); menjaga alam, menganut sistem perladangan, dan tradisi tari.
Sub-rumpun Dayak Wehea tinggal tersebar di enam desa di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Sebut saja Desa Nehas Liah Bing, Long Wehea, Diaq Leway, Dea Beq, Dia Lay, Bea Nehas. Enam desa tersbut merupakan bagian dari desa-desa yang ada di Kecamatan Muara Wahau, atau sebelumnya bernama Lebeng Wehea. Selanjutnya berubah menjadi Muara Wahau. Penyebutan tersebut di karenakan banyaknya orang yang kesulitan menyebut Lebeng Wehea, akhirnya diubah menjadi Muara Wahau. Lebeng sendiri artinya muara.

Wilayah adat Dayak Wehea sangat luas. Di sebelah utara hingga Gunung Meratus, yang wilayahnya mencakup Kabupaten Berau dan Kutai Timur. Di sebelah selatan sampai Kelang, yang merupakan bagian hulu Batu Ampar, Kutai Timur. Di sebelah timur sampai Sungai Kelay, yang sekarang masuk Kabupaten Berau. Terakhir, di sebelah barat hingga Sungai Telen, Kutai Timur.

Desa Nehas Liah Bing adalah desa tertua yang didiami Dayak Wehea. Desa berpenduduk 2.613 jiwa itu berjarak 387 kilometer dari kota Samarinda. Sedangkan dari Sangatta, ibu kota Kabupaten Kutai Timur, desa yang ada di sepanjang Sungai Wehea itu bisa dicapai dalam waktu lima jam (187 kilometer).

Selain Dayak Wehea, suku lain yang mendiami Nehas Liah Bing adalah Jawa, Bugis-Makassar, Kutai, dan Timor. Di Desa Nehas Liah Bing, warga Dayak Wehea yang memeluk Islam hanya sekitar 10% dari 800 anggota suku Dayak Wehea. Mayoritas lainnya menganut Katolik dan Protestan.

Dayak Wehea rata-rata masih menjalankan adat istiadat warisan leluhur. Terutama bila tradisi itu tak bertentangan dengan ajaran Islam. Misalnya upacara Neaq Lom (pesta penyambutan kehadiran anak). Pesta ini berlangsung dua hari. Pada hari pertama, para sesepuh menaburkan daun dan batang pisang dengan berkeliling kampung atau disebut leng dung.

Potongan daun dan batang pisang diperebutkan warga setempat yang menyaksikan ritual dan melemparkan kembali potongan-potongan itu. Inti kegiatan ini, agar si anak berhasil menggapai cita-citanya. Setali tiga uang, kegiatan adat ini hukumnya wajib. "Semacam pengakuan secara adat kepada si anak.

Islam masuk ke Muara Wahau, dibawa pendatang dari Jawa. Kawasan itu merupakan daerah tujuan transmigrasi yang ditetapkan pemerintah pada 1987. Secara perlahan, terjadi pernikahan silang antara pendatang dan warga lokal. Pernikahan ini sedikit banyak melunturkan kepercayaan Kaharingan, salah satu bentuk animisme, yang selama ribuan tahun mereka yakini. Ujung-ujungnya, struktur sosial Dayak Wehea juga ikut berubah.

Menurut Kepala Adat Dayak Wehea Desa Nehas Liah Bing, Ledjie Taq, Islam pertama kali masuk ke kawasan pesisir. Pembawanya, keturunan Kesultanan Kutai, seperti Datuk Ri Bandang. Agama Islam masuk ke Kerajaan Kutai sekitar tahun 1635, pada masa pemerintahan Sultan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapat.

Jejak masuknya Islam ke Kerajaan Kutai bisa dilihat pada Panji Selaten dan Undang-Undang Beraja Nanti. Kedua produk hukum Kerajaan Kutai itu banyak merujuk pada hukum Islam. Suku Kutai inilah yang kemudian menyebarkan Islam ke suku-suku lain, termasuk suku Dayak.

Selang dua abad kemudian, agama Kristen mulai disebarkan penginjil asal Jerman dan Swiss. Organisasi yang mengutus para penginjil asal Jerman adalah Rheinische Mission Gessellschaft zu Barmen pada 1863-1925. Barulah dilanjutkan oleh organisasi Evangelische Gessellschaft zu Basel asal Swiss. Peran dua lembaga inilah yang banyak mempengaruhi suku Dayak, termasuk Dayak Wehea, hingga menganut Protestan dan Katolik.

Menurut Ledjie Taq, penganut Protestan lebih sedikit dibandingkan dengan Katolik. "Dayak Wehea lebih banyak menerima Katolik karena masih menghormati nilai-nilai budaya yang sudah ada," kata Ledjie Taq, yang juga penganut Katolik. Misionaris Katolik mulai masuk pada 1967. Pastor pertama yang datang bernama Frans Huvang, seorang pastor lokal keturunan asli Dayak Mahakam.

Lebih jauh, Ledjie Taq menjelaskan, walau kini warga Dayak Wehea menganut agama berbeda, mereka tetap hidup harmonis. Sebab nilai-nilai adat mereka dari dulu sangat kental dan ketat mengatur relasi antar-sesama.

Relasi sosial ini terlihat ketika di kampung itu ada warga yang meninggal. Dengan kesadaran yang tinggi, mereka saling membantu meringankan penderitaan keluarga yang ditinggalkan. Mereka memberikan santunan dalam bentuk beras. Sama halnya dengan pesta pernikahan.

Biasanya babi disajikan sebagai menu makanan. Untuk menghormati penganut Islam, keluarga yang menggelar pernikahan tadi juga menyediakan menu ayam potong. ''Konflik pun kami selesaikan dengan cara adat,'' katanya.

Hal itu juga dibenarkan Pastor Remiygius Ukat (alm), yang pernah mendampingi Dayak Wehea untuk memberikan pemahaman ajaran Katolik. "Mekanisme adat itu untuk menghindari politisasi agama," ujarnya. Akar budaya dengan fondasi harmoni dan kepedulian terhadap lingkungan menjadi keyakinan adat Dayak Wehea.

Nilai-nilai harmoni itulah yang memudahkan warga pendatang masuk dan berinteraksi. Karenanya, nilai-nilai itu mengalir sampai pada kehidupan sosial antara Dayak Wehea dan pendatang. Budaya yang dilestarikan dimanfaatkan sebagai alat koreksi terhadap sesuatu yang salah. Nilai-nilai sosial itulah yang juga menjadi pintu masuk pengembangan agama. "Ini menjadi tanggung jawab bersama, meski dibebankan kepada ketua adat," tuturnya.

Semestinya upaya menjaga nilai-nilai budaya turut menjadi tanggung jawab pemerintah. Ibarat segitiga emas, kekuatan pemerintah, agama, dan adat harus dipadukan sebagai landasan ikatan sosial dalam menjalani kehidupan.

Wadah forum lintas agama diharapkan mampu melibatkan unsur tokoh adat. Ini penting karena selama ini, forum lintas agama hanya menyentuh elite, tidak sampai ke akar rumput. "Kerangkanya harus jelas agar tidak membunuh identitas budaya masyarakat lokal," kata pria kelahiran Nusa Tenggara Timur berumur 40 tahun itu.

Nilai adat istiadat tidak hanya mewarnai kehidupan sosial, melainkan juga urusan politik. Kepala desa yang dilantik pun harus menjalani sumpah adat. Bila ada kepala desa yang melanggar sumpah adat, dipercaya tujuh turunan keluarga kepala desa itu akan mengalami kesialan. "Ada beban sosial,". 

Tradisi lain yang dipertahankan suku Dayak Wehea adalah melestarikan hutan dan alam. Ini terlihat ketika Lembaga Adat Desa Nehas Liah Bing pada 27 Oktober 2005 mengukuhkan keberadaan Hutan Lindung Wehea seluas 38.000 hektare.

Agar hutan tetap rimbun, aturan adat Dayak Wehea menerapkan pembatasan jumlah binatang yang bisa diburu dan hasil hutan yang dapat diambil. Berburu binatang hanya boleh untuk ritual adat dan mengambil tanaman hanya boleh untuk keperluan ramuan obat. Penebangan kayu dilarang.

Untuk mengawasi pelaksanaan hukum adat itu, dibentuk kelompok penjaga hutan yang disebut Petkuq Mehuey. Mereka rutin berpatroli dan memantau kawasan hutan. Keseriusan warga Dayak Wehea di Desa Nehas Liah Bing mempertahankan budaya lokal mereka dalam berbagai sisi kehidupan membuat Bupati Kutai Timur, Awang Faroek Ishak, menetapkannya sebagai desa budaya dan konservasi pada 2006.

SUMBER: Disarikan Dari Liputan Khusus Majalah GATRA pada Oktober 2008.

Selasa, 27 November 2018

Sejarah Hari Guru

Setiap memasuki tanggal 25 November, Indonesia selalu memperingati Hari Guru Nasional (HGN). HGN merupakan hari lahirnya organisasi guru yaitu Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Asal usul mengapa tanggal tersebut dipilih menjadi hari yang khusus bagi para pahlawan tanpa tanda jasa di mulai sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.

Para pegiat pendidikan di nusantara telah mendirikan organisasi bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912. Anggotanya adalah kalangan Guru Bantu, Guru Desa, Kepala Sekolah, dan Penilik Sekolah yang bekerja di sekolah-sekolah yang ada di tanah air.

Kemudian, kuatnya keinginan untuk merdeka dan mendirikan negara sendiri yang bernama Indonesia membuat pengurus dan anggota PGHB mengubah nama organisasi mereka menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) di tahun 1932.

Usai kemerdekaan 17 Agustus 1945, para pengurus dan anggota PGI menyelenggarakan Kongres Guru Indonesia yaitu tepat di 100 hari setelah tanggal kemerdekaan tersebut, 24-25 November 1945. Kongres yang berlangsung di Kota Surakarta tersebut diadakan untuk mengikrarkan dukungan para guru untuk NKRI. 

Saat itu, nama organisasi PGI pun diperbarui menjadi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).Dilansir oleh situs resmi PGRI, karena jasa dan perjuangan yang telah dilakukan oleh para guru di tanah air, maka Pemerintah RI melalui Kepres No 78 Tahun 1994 menetapkan tanggal berdirinya PGRI sebagai Hari Guru Nasional.

Kepres itu juga dimantapkan di UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menetapkan tanggal 25 November setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Guru Nasional, yang kerap diperingati bersamaan dengan ulang tahun PGRI. Hal ini juga sejalan dengan Peraturan Pemerintah RI No.74 Tahun 2008 tentang Guru Pasal 35, yang menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional.

Jumat, 30 Maret 2018

PESAN DAN MAKNA : Mitos dan Narasi

Kesukaan akan kisah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keadaan manusia. Orang di seluruh dunia tidak bisa tidak berpikir bahwa kehidupan mereka sendiri adalah kisah dan kisah yang terus diceritakan.

Singkatnya, bercerita merupakan hal mendasar bagi kehidupan psikis sebagaimana bernafas bagi kehidupan fisik manusia. Tentu saja, “insting narasi” merupakan bagian dari konstitusi kehidupan manusia sebagaimana insting-insting fisik.

Narasi awal dari suatu kebudayaan dikenal sebagai mitos. Mitos begitu fundamental bagi pemahaman manusia sehingga mitos secara terus-menenerus menginformasikan pelbagai aktivitas dimulai dari psikoanalisis hingga peristiwa olahraga seperti gulat.


Pemikiran mitologis bersifat universal. Kisah-kisah dalam mitos meski detail namun selalu berubah dari kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Kisah-kisah mitos merefleksikan jenis tema mitos yang sama (baik vs buruk, kepahlawanan, dan lain-lain)


Kajian mitos kuno berada di bawah naungan semiotika dalam kajian mitologi, dan kajian umum tentang penceritaan berada dalam naratologi. Eksistensi manusia merupakan suatu fokus mendasar dari pendekatan semiotika kepada kajian budaya.


Rabu, 28 Maret 2018

PEDULI PADA ORANG MISKIN

Belajar dari Yesus yang Peduli Kepada Orang Miskin


KEMISKINAN dan penindasan hampir setua umur umat manusia. Meskipun Hukum Allah bagi orang Israel bertujuan melindungi orang miskin dan meringankan penderitaan mereka, Hukum tersebut sering kali diabaikan. (Amos 2:6). Nabi Yehezkiel mengecam cara orang miskin diperlakukan. Ia mengatakan, ”Orang-orang di negeri itu terus melaksanakan rancangan untuk berbuat curang dan merampok, dan orang yang menderita dan yang miskin mereka perlakukan dengan kasar, dan penduduk asing mereka curangi tanpa keadilan.”​—Yehezkiel 22:29.

Situasinya tidak berbeda ketika Yesus berada di bumi. Para pemimpin agama sama sekali tidak peduli kepada orang miskin. Mereka digambarkan sebagai ”pencinta uang” yang ”melahap rumah janda-janda” dan yang lebih peduli untuk menjalankan tradisi daripada mengurus para lansia dan orang miskin. (Lukas 16:14; 20:47; Matius 15:5, 6) Menarik, dalam perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang baik hati, sewaktu seorang imam dan seorang Lewi melihat orang yang terluka, mereka lewat saja dan tidak mau berhenti untuk membantu.​—Lukas 10:30-37.

Yesus Peduli kepada Orang Miskin
Catatan Injil tentang kehidupan Yesus memperlihatkan bahwa ia memahami benar kesulitan orang miskin dan sangat peka akan kebutuhan mereka. Meskipun pernah hidup di surga, Yesus mengosongkan dirinya, mengambil wujud manusia, dan ’menjadi miskin demi kita’. (2 Korintus 8:9) Ketika melihat kumpulan orang, Yesus ”merasa kasihan terhadap mereka, karena mereka dikuliti dan dibuang seperti domba-domba tanpa gembala”. (Matius 9:36) Kisah tentang seorang janda miskin memperlihatkan bahwa Yesus tidak terkesan oleh pemberian yang banyak dari orang kaya, yang memberi ”dari kelebihan mereka”, tetapi oleh sumbangan kecil janda miskin itu. Apa yang ia lakukan menyentuh hati Yesus karena ’dari kekurangannya janda itu menjatuhkan semua sarana penghidupan yang dimilikinya’.​—Lukas 21:4.

Yesus tidak saja merasa kasihan kepada orang miskin, tetapi ia juga menaruh minat pribadi kepada kebutuhan mereka. Ia dan rasul-rasulnya mempunyai dana bersama untuk membantu orang Israel yang berkekurangan. (Matius 26:6-9; Yohanes 12:5-8; 13:29) Yesus menganjurkan orang-orang yang ingin menjadi pengikutnya agar sadar akan kewajiban mereka untuk membantu orang yang berkekurangan. Ia memberi tahu seorang penguasa muda yang kaya, ”Juallah segala sesuatu yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah kepada orang-orang miskin, dan engkau akan memperoleh harta di surga; dan mari jadilah pengikutku.” Fakta bahwa pria itu tidak bersedia merelakan miliknya memperlihatkan bahwa ia lebih mengasihi kekayaan daripada mengasihi Allah dan sesama. Jadi, ia tidak memiliki sifat-sifat yang dituntut untuk menjadi murid Yesus.​—Lukas 18:22, 23.

Para Pengikut Kristus Harus Peduli Kepada Orang Miskin
Setelah kematian Yesus, para rasul dan pengikut Kristus lainnya terus memperlihatkan kepedulian kepada orang miskin di kalangan mereka. Sekitar tahun 49 M, rasul Paulus bertemu dengan Yakobus, Petrus, dan Yohanes dan membahas amanat yang ia terima dari Tuan Yesus Kristus untuk memberitakan kabar baik. Mereka setuju bahwa Paulus dan Barnabas harus pergi kepada ”bangsa-bangsa”, khususnya kepada orang non-Yahudi. Selain itu, Yakobus dan teman-temannya mendesak Paulus dan Barnabas agar ”mengingat orang-orang miskin”. Dan, itulah yang Paulus ’upayakan dengan sungguh-sungguh’.​—Galatia 2:7-10.

Selama pemerintahan Kaisar Klaudius, suatu bala kelaparan yang hebat menimpa berbagai bagian di Imperium Romawi. Sebagai tanggapan, orang Kristen di Antiokhia ”menentukan, masing-masing sesuai dengan kemampuannya, untuk melaksanakan pelayanan dengan mengirimkan bantuan kepada saudara-saudara yang tinggal di Yudea; dan ini mereka lakukan, dengan mengirimkannya kepada para tua-tua melalui tangan Barnabas dan Saul”.​—Kisah 11:28-30.

Orang Kristen sejati dewasa ini juga menyadari bahwa pengikut Yesus harus peduli kepada orang miskin, khususnya di kalangan rekan seiman. (Galatia 6:10) Karena itu, mereka benar-benar peduli akan kebutuhan orang yang berkekurangan. Misalnya, pada tahun 1998, kemarau yang hebat menghancurkan banyak tempat di Brasil bagian timur laut. Kemarau itu merusak tanaman padi, polong-polongan, dan jagung, mengakibatkan bala kelaparan di mana-mana​—yang terburuk dalam 15 tahun terakhir. Di beberapa tempat bahkan tidak ada cukup air minum. Saksi-Saksi Yehuwa di bagian-bagian lain di negeri itu segera mengorganisasi panitia bantuan kemanusiaan, dan dalam waktu singkat mereka mengumpulkan berton-ton makanan serta membayar biaya transportasi perbekalan itu.

Para Saksi yang mendukung upaya bala bantuan itu menulis, ”Kami sangat bahagia dapat membantu saudara-saudari kami, khususnya karena yakin bahwa kami telah membuat hati Yehuwa bersukacita. Kami tidak pernah melupakan kata-kata di Yakobus 2:15, 16.” Ayat-ayat Alkitab tersebut berbunyi, ”Jika seorang saudara atau saudari berada dalam keadaan telanjang dan tidak mempunyai cukup makanan sehari-hari, namun salah seorang dari antara kamu mengatakan kepada mereka, ’Pergilah dengan damai, hangatkanlah dirimu dan makanlah sampai kenyang’, tetapi kamu tidak memberi mereka apa yang dibutuhkan tubuh mereka, apakah manfaatnya?”
Di salah satu sidang Saksi-Saksi Yehuwa di kota São Paulo, seorang Saksi yang miskin secara materi sering kali harus berjuang menafkahi diri. Saudari yang sederhana dan penuh semangat ini mengatakan, ”Meskipun saya miskin, berita Alkitab telah membuat kehidupan saya benar-benar bermakna. Saya tidak tahu bagaimana keadaan saya andaikan tidak ada bantuan dari rekan-rekan Saksi.” Beberapa waktu lalu, wanita Kristen yang rajin ini harus dioperasi namun ia tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Dalam kasus khusus ini, saudara-saudari Kristen di sidangnya mampu menutup biaya operasi tersebut. Di seluruh dunia, orang Kristen sejati mempunyai kebiasaan memberikan bantuan kepada rekan seiman yang membutuhkan.
Tetapi, tidak soal betapa menghangatkan hati pengalaman demikian, jelaslah bahwa upaya-upaya tulus seperti itu tidak akan memberantas kemiskinan. Bahkan pemerintahan yang kuat dan lembaga bantuan kemanusiaan internasional yang besar, meskipun cukup berhasil, tidak sanggup menghapus problem kemiskinan yang sudah ada sejak dulu. Karena itu, timbul pertanyaan: Apa solusi yang pasti untuk mengatasi kemiskinan dan problem lain yang merongrong umat manusia?
Ajaran Alkitab Supaya Peduli Kaum Miskin
Catatan Injil menceritakan bahwa Yesus Kristus selalu berbuat baik kepada orang miskin atau yang memiliki kebutuhan lain. (Matius 14:14-21) Namun, kegiatan apa yang ia utamakan? Pada suatu peristiwa, setelah beberapa waktu membantu orang yang berkekurangan, Yesus memberi tahu murid-muridnya, ”Mari kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota pedesaan yang berdekatan, agar aku memberitakan di sana juga.” Mengapa Yesus menghentikan pekerjaannya membantu orang sakit dan yang berkekurangan supaya dapat melanjutkan pengabarannya? Ia menjelaskan dengan mengatakan, ”Untuk tujuan inilah [yaitu, untuk mengabar] aku pergi.” (Markus 1:38, 39; Lukas 4:43) Meskipun berbuat baik untuk orang yang berkekurangan penting bagi Yesus, misi utamanya ialah memberitakan Kerajaan Allah.​—Markus 1:14.

Mengingat Alkitab mendesak orang Kristen untuk ”mengikuti langkah-langkah [Yesus] dengan saksama”, ada petunjuk yang jelas bagi orang Kristen dewasa ini sehubungan dengan menetapkan prioritas dalam upaya mereka membantu orang lain. (1 Petrus 2:21) Seperti Yesus, mereka membantu orang yang berkekurangan. Tetapi, seperti Yesus juga, mereka membuat pekerjaan mengajarkan berita Alkitab tentang kabar baik Kerajaan Allah sebagai prioritas utama. (Matius 5:14-16; 24:14; 28:19, 20) Namun, mengapa pengabaran berita yang terdapat dalam Firman Allah harus lebih diutamakan daripada pemberian bantuan lain apa pun?

Kisah nyata dari seluruh dunia memperlihatkan bahwa apabila orang mengerti dan mengikuti nasihat praktis Alkitab, mereka lebih mampu menghadapi problem kehidupan sehari-hari, termasuk kemiskinan. Selain itu, berita Kerajaan Allah dalam Alkitab yang dikabarkan oleh Saksi-Saksi Yehuwa dewasa ini memberi orang harapan untuk masa depan​—harapan yang membuat kehidupan memang berharga, bahkan di bawah keadaan yang paling sulit. (1 Timotius 4:8) Harapan apakah itu?

Firman Allah meyakinkan kita mengenai masa depan, ”Ada langit baru dan bumi baru yang kita nantikan sesuai dengan janji [Allah], dan keadilbenaran akan tinggal di dalamnya.” (2 Petrus 3:13) Sewaktu Alkitab menyebutkan ”bumi”, kadang-kadang yang dimaksud adalah orang-orang yang hidup di bumi. (Kejadian 11:1) Jadi, ”bumi baru” yang adil-benar yang dijanjikan akan datang adalah masyarakat manusia yang diperkenan Allah. Firman Allah selanjutnya menjanjikan bahwa di bawah pemerintahan Kristus, orang-orang yang diperkenan Allah akan menerima karunia kehidupan abadi dan akan menjalani kehidupan yang memuaskan di firdaus di bumi. (Markus 10:30) Masa depan yang menakjubkan itu tersedia bagi semua orang, termasuk orang miskin. Di ”bumi baru” tersebut, problem kemiskinan akan terpecahkan untuk selama-lamanya.

DENGAN CARA APA DAN BAGAIMANA YESUS ”MEMBEBASKAN ORANG MISKIN”?
  • KEADILAN: ”Biarlah ia menjadi hakim bagi orang-orang yang menderita dari bangsa itu, biarlah ia menyelamatkan putra-putra orang miskin, dan biarlah ia meremukkan orang yang berbuat curang.” (Mazmur 72:4) Selama pemerintahan Kristus atas bumi, akan ada keadilan bagi semua orang. Tidak boleh ada korupsi, suatu kejahatan yang telah membuat banyak negeri yang mestinya makmur, terpuruk dalam lembah kemiskinan.
  • PERDAMAIAN: ”Pada zamannya, orang adil-benar akan bertunas, dan damai berlimpah sampai bulan tidak ada lagi.” (Mazmur 72:7) Banyak kemiskinan di dunia diakibatkan oleh konflik antarmanusia dan perang. Kristus akan mendatangkan perdamaian yang sempurna ke atas bumi, dengan demikian menyingkirkan salah satu penyebab utama kemiskinan.
  • KEIBAAN HATI: ”Ia akan merasa kasihan kepada orang kecil dan orang miskin, dan jiwa orang-orang miskin akan ia selamatkan. Ia akan menebus jiwa mereka dari penindasan dan tindak kekerasan, dan darah mereka berharga di matanya.” (Mazmur 72:12-14) Orang kecil, miskin, dan tertindas akan menjadi bagian dari satu keluarga manusia yang berbahagia, dipersatukan di bawah kepemimpinan Raja Yesus Kristus.
  • KEMAKMURAN: ”Akan ada banyak biji-bijian di bumi.” (Mazmur 72:16) Selama pemerintahan Kristus, akan ada kemakmuran dan kelimpahan secara materi. Orang tidak akan menderita akibat kekurangan makanan dan bala kelaparan yang sering menjadi penyebab kemiskinan dewasa ini.
Sumber : https://wol.jw.org/id/wol/d/r25/lp-in/2006321


GAYA HIDUP

Mengapa dan Ada Apa dengan Gaya Hidup?? 
🤔🤔
Mengapa kalau lapar ke McDonad's, dan bila haus mesti Coca-Cola (tempat makan mewah dan minuman-minuman bermerek)?
.
Mengapa shopping malls (belanja online) kian menjamur, sementara pasar-pasar tradisional mulai kurang peminat?
.
Mengapa produksi hand-phone terus digenjot, sementara fasilitas telpon umum cenderung mandeg (bahkan dirusak dan diabaikan)?

.
Mengapa produksi mobil pribadi kian menderas, sementara kendaraan umum senantiasa mulai kekurangan penumpang (mulai ditinggalkan)?
.
Gaya hidup, berikut simbol-simbolnya, saat ini tengah mengguncang kesadaran manusia. Masyarakat cenderung terserap dalam keperkasaan kebudayaan populer (budaya serba mewah) yang kian hegemonik dengan segala artributnya.
.
Gaya hidup telah menjadi komoditas, dan dalam menapaki kehidupannya, kebanyakan orang tampak lebih mementingan 'kulit luar' ketimbang 'isi'.
.
Inilah halusinasi haus kenikmatan, dan penampilan diri yang mendorong manusia modern untuk terus mengkonsumsi demi kehidupan yang 'wah' dan penuh huraphura.
"Lifestyle Ecstasy"

NASIONALISME DAN KEBUDAYAAN

Nasionalisme dan Kebudayaan

Ignas Kleden : Sosiolog

DALAM sejarah politik Indonesia, nasionalisme rupa-rupanya pernah dianggap bertentangan dengan kebudayaan. Dalam arti itu, antropolog Clifford Geertz umpamanya menulis panjang-lebar tentang primordial sentiments dan national integration. Diambil secara gampangnya, apa yang dinamakan sentimen primordial adalah perasaan-perasaan yang erat hubungannya dengan kebudayaan, khususnya dengan faktor-faktor yang dianggap given dalam kebudayaan, seperti hubungan darah, kesamaan daerah, kesamaan asal-usul, bahasa ibu, atau warna kulit.

Dalam istilah sosiologi, kebudayaan dianggap memberikan segala yang ascribed, yaitu apa saja yang menjadi atribut seseorang atau tempat seseorang diperanggotakan, tanpa pilihan yang aktif dan sadar dari yang bersangkutan. Seseorang menjadi Jawa atau Sunda bukan karena pilihannya, tetapi semata-mata karena askripsi. Sebaliknya, nasionalisme dan integrasi nasional adalah pemikiran, perasaan dan perjuangan yang penuh kesadaran dan pilihan, yang menuntut usaha yang sungguh-sungguh dan harus dikelompokkan ke dalam apa yang dalam jargon sosiologi Parsonian dinamakan achievement (sebagai lawan dari ascription).

Dalam arti tersebut, keterlibatan seseorang atau sekelompok orang dalam integrasi nasional dianggap mengharuskan adanya pengorbanan terhadap hal-hal yang bersifat primordial. Hal ini dalam praktiknya bukan tidak dijalankan dalam politik Indonesia. Bahasa ibu (vernacular) dianggap kurang penting dibandingkan dengan bahasa nasional, dan hal itu tercermin dengan jelas dalam pengajaran bahasa di sekolah-sekolah, di mana (dengan beberapa pengecualian) bahasa ibu tidak diajarkan lagi.

Demikian pun rasa kedaerah yang berlebih-lebihan dianggap membahayakan persatuan nasional. Provinsialisme bukanlah unsur kuat dalam nasionalisme, tetapi diperlakukan sebagai risikonya. Dalam kaitan itu, istilah kebudayaan nasional menjadi istilah yang penuh kontroversi dan ketidakjelasan. Selain bahasa nasional, sastra Indonesia, seni lukis Indonesia, seni tari dengan koreografi baru yang nontradisional, teater modern di Indonesia, pendidikan dan pengajaran nasional, dan media massa Indonesia, sulit bagi kita menunjukkan secara empiris apa saja yang menjadi unsur-unsur kebudayaan nasional.

Menurut pengalaman selama ini, kebudayaan nasional lebih merupakan gagasan (atau bahkan retorika) politik, daripada suatu konsep yang dapat diuraikan secara ilmiah. Dengan mudah suatu tindakan pada masa lalu dianggap bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan nasional, tetapi tidak pernah dijelaskan nilai-nilai mana saja yang dapat diterima sebagai sistem-nilai kebudayaan nasional. Seperti biasanya, istilah politik lebih mudah berfungsi sebagai antikonsep, yang dapat diterapkan secara arbitrer apabila dibutuhkan secara politik, daripada sebagai suatu kerangka konseptual yang jelas batas-batasnya dan dapat dideskripsikan unsur-unsurnya. 

Apakah ada upacara perkawinan nasional? 
Apakah ada jenis makanan nasional? 
Apakah ada pencak silat nasional? 

Hal-hal terakhir ini lebih mudah diidentifikasikan sebagai produk budaya suatu daerah atau suatu kelompok etnik tertentu.

***

KESULITAN tersebut muncul dari sifat khas nasionalisme yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, dan di banyak negara berkembang lainnya. Di negeri-negeri ini nasionalisme telah lahir sebagai gerakan untuk menentang dan mengakhiri suatu pemerintahan dan kekuasaan kolonial. Yang terjadi adalah adanya bangsa yang merdeka mendahului lahirnya suatu negara yang berdaulat. Dalam kenyataannya sering terjadi bahwa sekalipun bangsa itu telah merdeka, negara yang diproklamasikan
oleh bangsa tersebut tetap meneruskan watak dari negara kolonial sebelumnya. 

Nasionalisme jenis ini sangat berbeda dari nasionalisme di negara-negara Eropa di mana beberapa negara modern terbentuk mendahului adanya bangsa. Sebelum menyingsingnya fajar masa modern, di Eropa Barat telah terbentuk negara-negara yang relatif berdaulat, seperti negara Perancis, Inggris, Spanyol, dan Belanda, yang kemudian menjelma menjadi bangsa pada saat memasuki masa modern. Perubahan negara menjadi bangsa di tempat-tempat tersebut menjadi mantap pada
masa-masa setelah Perang Napoleon (1804-1815). 

Di negara-negara ini dapatlah dikatakan, kesatuan negara mendahului kesatuan bangsa. Varian lainnya adalah Jerman dan Italia, di mana kesatuan budaya di negeri itu jauh lebih dahulu ada dan baru kemudian mendapatkan ekspresi politisnya. Dengan lain perkataan, di kedua negara yang tersebut terakhir ini tidak ada masalah dengan kebudayaan nasional seperti halnya di Indonesia, karena kesatuan budaya jauh mendahului kesatuan politik. Kebudayaan Jerman dan kebudayaan Italia sudah mantap pembentukannya sebelum terbentuknya bangsa Jerman atau bangsa Italia. 

***

DI Indonesia, yang terjadi adalah bahwa pembentukan bangsa itu berlangsung melalui pergerakan nasional dan mendahului pembentukan negara RI maupun pembentukan kebudayaan nasional Indonesia. Ada dua akibat yang sangat terasa sampai sekarang. Dari satu segi, negara Indonesia merdeka harus berusaha (dengan tidak selalu berhasil) melepaskan diri dari sifat-sifat negara kolonial yang mendahuluinya, baik negara kolonial Belanda maupun negara kolonial Jepang. Orientasi utama ke pasar luar negeri dalam ekonomi misalnya, merupakan warisan langsung dari negara kolonial Hindia Belanda. Demikian pun, peranan besar militer dalam bidang sosialpolitik dalam masa Orde Baru adalah salah satu warisan pemerintahan Jepang. Dari pihak lainnya, kebudayaan Indonesia harus didefinisikan dalam hubungan dengan kebudayaan daerah maupun kebudayaan asing.

Dalam undang-undang dikatakan bahwa kebudayaan nasional terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah. Definisi ini memang sangat kabur, karena tidak dibedakan kebudayaan daerah yang dihasilkan sebelum terbentuknya negara Indonesia Merdeka, dan kebudayaan daerah yang diciptakan setelah tercapainya kemerdekaan nasional. Sutan Takdir Alisjahbana misalnya, dalam Polemik Kebudayaan dengan tegas menolak semua hasil kebudayaan yang telah tercipta sebelum kemerdekaan sebagai kebudayaan Indonesia. Dalam arti itu, Borobudur paling banter hanya dapat diterima sebagai produk kebudayaan pra-Indonesia, tetapi bukan bagian kebudayaan nasional, karena dia diciptakan pada saat belum ada sama sekali kesadaran tentang ke-Indonesia-an. 

Demikian pula, kebudayaan nasional dicoba dikonsepsikan dalam perbedaan, dan bahkan pertentangannya dengan kebudayaan Barat. Ketakutan terhadap kebudayaan Barat sebagai ancaman bagi kebudayaan nasional muncul dengan nyata, baik dalam masa pemerintahan Soekarno maupun dalam masa pemerintahan Soeharto. Tetapi, apa yang sebetulnya dinamakan kebudayaan Barat oleh kedua penguasa itu?

Soekarno memang menolak musik rock 'n roll, tetapi membaca dengan lahap kepustakaan politik, filsafat, dan sejarah kebudayaan Barat. Soeharto menolak oposisi dalam politik sebagai refleksi kebudayaan Barat, tetapi dengan tangan terbuka menerima modal-modal asing yang sebagian terbesar berasal dari negara-negara Barat. Anehnya, sikap bermusuhan terhadap kebudayaan asing ini hanya ditujukan kepada apa yang dibayangkan sebagai kebudayaan Barat, sedangkan kebudayaan Cina, Parsi, India, dan kebudayaan luar lainnya tidak dianggap sebagai kebudayaan asing.

***
Sekalipun Indonesia sejak awal mendengungkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, namun jelas bahwa persatuan merupakan ide yang dominan, yang telah muncul dari nasionalisme yang bersifat antikolonial. Perjuangan nasional itu diandaikan mengharuskan adanya persatuan nasional, yaitu persatuan semua kelompok etnik di Nusantara ke dalam bangsa Indonesia, dan juga suatu negara kesatuan yang tidak mengijinkan adanya kedaulatan lain di samping kedaulatan RI dalam batas-batas
teritorial negara ini. 

Sadar-tak-sadar, ide negara kesatuan dan persatuan bangsa ini kemudian menggiring pemikiran ke arah kebudayaan nasional, yang dalam bentuk konkretnya berarti kebudayaan persatuan. Tetapi, persatuan secara budaya merupakan hal yang tidak mudah, karena menimbulkan pertanyaan: mengapa kebudayaan-kebudayaan harus dipersatukan, dan kalau dipersatukan, maka persatuan kebudayaan itu mengikuti pola yang mana? Dalam hal inilah kelihatan sikap yang serba mendua dalam politik Indonesia, yang tentu saja telah muncul dari desakan politik yang ada, yang kemudian harus dijawab secara pragmatis belaka, tanpa mempertimbangkan implikasi budayanya.

Persoalan asimilasi kelompok etnik Tionghoa merupakan contoh soal yang baik, bahwa suatu kelompok budaya dan kelompok etnis yang dianggap asing diminta untuk meninggalkan kebudayaannya sendiri dan bergabung dengan kelompok budaya yang lebih besar. Atau, dalam bahasa antropologi budaya, kebudayaan kelompok etnik Tionghoa harus diperlakukan sebagai subkultur dari suatu dominant culture yang lain, entah Jawa, Batak, atau Sunda. Persoalan ini tentu saja menyangkut masalah dwikewarganegaraan orang-orang keturunan Tionghoa yang pernah muncul, yang kemudian dipertegas oleh masalah sikap nasional Indonesia terhadap komunisme. Dengan demikian, persoalan asimilasi bukanlah persoalan kebudayaan, tetapi persoalan politik semata-mata, karena penduduk Timur asing lainnya, seperti keturunan Arab atau India, tidak diminta melakukan asimilasi, karena tidak ada urgensi politik yang mengharuskannya.

***

Kebudayaan Indonesia saat ini sedang menghadapi masalah bangkitnya kebudayaankebudayaan daerah, entah karena berakhirnya etatisme dan sentralisme Orde Baru, maupun karena penerapan Otonomi Daerah berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999. Diberikannya hak-hak pemerintahan yang besar kepada daerah (kabupaten) jelas memungkinkan daerah bersangkutan menghidupkan kebudayaan lokal yang menjadi ciri daerah tersebut. Apakah hidupnya budaya daerah ini kemudian semakin menunjang atau menghalangi proses demokratisasi, harus dilihat nanti.

Kalau kebudayaan daerah itu semakin memperkuat feodalisme lokal atau mengembalikan lagi patriarki yang dibenarkan oleh adat-istiadat setempat, maka hidupnya kebudayaan lokal membawa tantangan dan risiko baru untuk demokratisasi. Sebaliknya, kalau munculnya kebudayaan daerah itu memungkinkan pluralisasi ekspresi-ekspresi budaya, yang menjadi representasi dari kesadaran nasional yang sama atas cara yang lebih beragam, maka kita akan mengalami suatu masa di mana kebangsaan dan kebudayaan tidak saling menghambat, tetapi justru saling memperkaya.

Gerakan untuk otonomi daerah, tuntutan untuk kesamaan hak hidup budaya kaum minoritas sebagaimana diperjuangkan dalam gerakan-gerakan multikultural, menguatnya filsafat politik komunitarian di Amerika Serikat sebagai antitese yang kuat terhadap demokrasi liberal, hidupnya kembali lokalitas sebagai countervailing movement terhadap superimposisi yang keras dari proses globalisasi, jelas akan ada pengaruhnya terhadap nasionalisme dan rasa kebangsaan. 

Bangkitnya negara-negara berbasis etnis di Eropa Timur dan bekas daerah kekuasaan Uni Soviet menjadi pratanda bahwa yang akan kita hadapi di masa depan barangkali bukanlah the clash of civilizations sebagaimana diramalkan Samuel Huntington, tetapi sangat mungkin the clash of nationalities yang didukung oleh identifikasi kebudayaan yang kuat.

Sumber :
Rowland Bismark Fernando Pasaribu. (2013). MANUSIA DAN KEBUDAYAAN: Manusia Indonesia, Nasionalisme, dan Simbolisme Kebudayaan. Diktat Kuliah: ILMU BUDAYA DASAR. hlm 36-39
MAKNA PANCASILA

Pancasila : 
"Gagasan Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara"

Mungkin kita bertanya, mengapa Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara, ideologi nasional dan pandangan hidup bangsa Indonesia. 

Benarkah Pancasila mampu meng-akomodasi pluralistik bangsa serta kondisi negara-bangsa sehingga dapat dimanfaatkan sebagai landasan bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan berbangsa dan bernegara. 

Perlu dasar pemikiran yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan sehingga dapat diterima oleh seluruh warga bangsa. 

Dasar dan ideologi suatu negara-bangsa harus memenuhi syarat, yakni disamping kokoh dan kuat, juga harus sesuai dengan bangunan negara-bangsa di mana dasar dan ideologi tersebut akan diterapkan. Gagasan dasar yang terkandung dalam dasar dan ideologi negara-bangsa harus sesuai dengan kondisi negara-bangsa yang didukungnya. 

Negara Indonesia adalah negara yang besar, wilayahnya cukup luas, seluas daratan Eropa yang terdiri atas berpuluh negara, membentang dari barat ke timur dari Sabang sampai Merauke, dari utara ke selatan dari pulau Miangas sampai pulau Rote, meliputi jutaan kilometer persegi. 

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri lebih dari 17 000 pulau, berpenduduk lebih dari 230 juta orang, terdiri atas beratus suku bangsa, beraneka adat dan budaya, serta memeluk berbagai agama dan keyakinan. Oleh karena itu dasar dan ideologi negara-bangsa harus mampu mewadahi kondisi tersebut.

Pancasila dinilai memenuhi syarat sebagai dasar negara dan ideologi nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang pluralistik serta cukup luas dan besar. Pancasila mampu mengakomodasi keanekaragaman yang terdapat dalam kehidupan negara-bangsa Indonesia. 

Sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung konsep dasar yang terdapat pada segala agama dan keyakinan yang dipeluk atau dianut oleh rakyat Indonesia.

Demikian juga dengan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, mengandung konsep dasar penghormatan terhadap harkat martabat manusia. Manusia didudukkan sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya, tidak hanya setara, tetapi juga secara adil dan beradab. 
Sila ketiga, persatuan Indonesia, mengandung konsep kesatuan dan keutuhan bangsa dan wilayah negara dengan berbagai kemajemukkan. 

Sila keempat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung konsep dasar menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, yang dalam implementasinya dilaksanakan dengan bersendi pada hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. 

Sedang sila kelima me-wujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung konsep dasar bahwa kesejahteraan dinikmati dan dirasakan secara merata oleh seluruh rakyat di seluruh wilayah Indonesia, tanpa mengabaikan kesejahteraan perorangan atau golongan. 

Dengan demikian Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, pandangan hidup bangsa merupakan common denominator (kesamaan pijakan) bagi kondisi kehidupan bangsa Indonesia yang pluralistik.