Rabu, 28 November 2018

Menjaga Tradisi Mencapai Harmoni

Dayak Wehea adalah satu dari 405 sub-rumpun suku Dayak di Kalimantan. Bila ditarik garis ke atas, ratusan sub-rumpun itu mengerucut menjadi enam rumpun besar, yaitu Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan, dan Punan. Walau memakai nama dan bahasa berbeda-beda, semua sub-rumpun itu punya kesamaan budaya. Yaitu: rumah panjang, hasil budaya material seperti tembikar, mandau, sumpit, beliong (kapak Dayak); menjaga alam, menganut sistem perladangan, dan tradisi tari.
Sub-rumpun Dayak Wehea tinggal tersebar di enam desa di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Sebut saja Desa Nehas Liah Bing, Long Wehea, Diaq Leway, Dea Beq, Dia Lay, Bea Nehas. Enam desa tersbut merupakan bagian dari desa-desa yang ada di Kecamatan Muara Wahau, atau sebelumnya bernama Lebeng Wehea. Selanjutnya berubah menjadi Muara Wahau. Penyebutan tersebut di karenakan banyaknya orang yang kesulitan menyebut Lebeng Wehea, akhirnya diubah menjadi Muara Wahau. Lebeng sendiri artinya muara.

Wilayah adat Dayak Wehea sangat luas. Di sebelah utara hingga Gunung Meratus, yang wilayahnya mencakup Kabupaten Berau dan Kutai Timur. Di sebelah selatan sampai Kelang, yang merupakan bagian hulu Batu Ampar, Kutai Timur. Di sebelah timur sampai Sungai Kelay, yang sekarang masuk Kabupaten Berau. Terakhir, di sebelah barat hingga Sungai Telen, Kutai Timur.

Desa Nehas Liah Bing adalah desa tertua yang didiami Dayak Wehea. Desa berpenduduk 2.613 jiwa itu berjarak 387 kilometer dari kota Samarinda. Sedangkan dari Sangatta, ibu kota Kabupaten Kutai Timur, desa yang ada di sepanjang Sungai Wehea itu bisa dicapai dalam waktu lima jam (187 kilometer).

Selain Dayak Wehea, suku lain yang mendiami Nehas Liah Bing adalah Jawa, Bugis-Makassar, Kutai, dan Timor. Di Desa Nehas Liah Bing, warga Dayak Wehea yang memeluk Islam hanya sekitar 10% dari 800 anggota suku Dayak Wehea. Mayoritas lainnya menganut Katolik dan Protestan.

Dayak Wehea rata-rata masih menjalankan adat istiadat warisan leluhur. Terutama bila tradisi itu tak bertentangan dengan ajaran Islam. Misalnya upacara Neaq Lom (pesta penyambutan kehadiran anak). Pesta ini berlangsung dua hari. Pada hari pertama, para sesepuh menaburkan daun dan batang pisang dengan berkeliling kampung atau disebut leng dung.

Potongan daun dan batang pisang diperebutkan warga setempat yang menyaksikan ritual dan melemparkan kembali potongan-potongan itu. Inti kegiatan ini, agar si anak berhasil menggapai cita-citanya. Setali tiga uang, kegiatan adat ini hukumnya wajib. "Semacam pengakuan secara adat kepada si anak.

Islam masuk ke Muara Wahau, dibawa pendatang dari Jawa. Kawasan itu merupakan daerah tujuan transmigrasi yang ditetapkan pemerintah pada 1987. Secara perlahan, terjadi pernikahan silang antara pendatang dan warga lokal. Pernikahan ini sedikit banyak melunturkan kepercayaan Kaharingan, salah satu bentuk animisme, yang selama ribuan tahun mereka yakini. Ujung-ujungnya, struktur sosial Dayak Wehea juga ikut berubah.

Menurut Kepala Adat Dayak Wehea Desa Nehas Liah Bing, Ledjie Taq, Islam pertama kali masuk ke kawasan pesisir. Pembawanya, keturunan Kesultanan Kutai, seperti Datuk Ri Bandang. Agama Islam masuk ke Kerajaan Kutai sekitar tahun 1635, pada masa pemerintahan Sultan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapat.

Jejak masuknya Islam ke Kerajaan Kutai bisa dilihat pada Panji Selaten dan Undang-Undang Beraja Nanti. Kedua produk hukum Kerajaan Kutai itu banyak merujuk pada hukum Islam. Suku Kutai inilah yang kemudian menyebarkan Islam ke suku-suku lain, termasuk suku Dayak.

Selang dua abad kemudian, agama Kristen mulai disebarkan penginjil asal Jerman dan Swiss. Organisasi yang mengutus para penginjil asal Jerman adalah Rheinische Mission Gessellschaft zu Barmen pada 1863-1925. Barulah dilanjutkan oleh organisasi Evangelische Gessellschaft zu Basel asal Swiss. Peran dua lembaga inilah yang banyak mempengaruhi suku Dayak, termasuk Dayak Wehea, hingga menganut Protestan dan Katolik.

Menurut Ledjie Taq, penganut Protestan lebih sedikit dibandingkan dengan Katolik. "Dayak Wehea lebih banyak menerima Katolik karena masih menghormati nilai-nilai budaya yang sudah ada," kata Ledjie Taq, yang juga penganut Katolik. Misionaris Katolik mulai masuk pada 1967. Pastor pertama yang datang bernama Frans Huvang, seorang pastor lokal keturunan asli Dayak Mahakam.

Lebih jauh, Ledjie Taq menjelaskan, walau kini warga Dayak Wehea menganut agama berbeda, mereka tetap hidup harmonis. Sebab nilai-nilai adat mereka dari dulu sangat kental dan ketat mengatur relasi antar-sesama.

Relasi sosial ini terlihat ketika di kampung itu ada warga yang meninggal. Dengan kesadaran yang tinggi, mereka saling membantu meringankan penderitaan keluarga yang ditinggalkan. Mereka memberikan santunan dalam bentuk beras. Sama halnya dengan pesta pernikahan.

Biasanya babi disajikan sebagai menu makanan. Untuk menghormati penganut Islam, keluarga yang menggelar pernikahan tadi juga menyediakan menu ayam potong. ''Konflik pun kami selesaikan dengan cara adat,'' katanya.

Hal itu juga dibenarkan Pastor Remiygius Ukat (alm), yang pernah mendampingi Dayak Wehea untuk memberikan pemahaman ajaran Katolik. "Mekanisme adat itu untuk menghindari politisasi agama," ujarnya. Akar budaya dengan fondasi harmoni dan kepedulian terhadap lingkungan menjadi keyakinan adat Dayak Wehea.

Nilai-nilai harmoni itulah yang memudahkan warga pendatang masuk dan berinteraksi. Karenanya, nilai-nilai itu mengalir sampai pada kehidupan sosial antara Dayak Wehea dan pendatang. Budaya yang dilestarikan dimanfaatkan sebagai alat koreksi terhadap sesuatu yang salah. Nilai-nilai sosial itulah yang juga menjadi pintu masuk pengembangan agama. "Ini menjadi tanggung jawab bersama, meski dibebankan kepada ketua adat," tuturnya.

Semestinya upaya menjaga nilai-nilai budaya turut menjadi tanggung jawab pemerintah. Ibarat segitiga emas, kekuatan pemerintah, agama, dan adat harus dipadukan sebagai landasan ikatan sosial dalam menjalani kehidupan.

Wadah forum lintas agama diharapkan mampu melibatkan unsur tokoh adat. Ini penting karena selama ini, forum lintas agama hanya menyentuh elite, tidak sampai ke akar rumput. "Kerangkanya harus jelas agar tidak membunuh identitas budaya masyarakat lokal," kata pria kelahiran Nusa Tenggara Timur berumur 40 tahun itu.

Nilai adat istiadat tidak hanya mewarnai kehidupan sosial, melainkan juga urusan politik. Kepala desa yang dilantik pun harus menjalani sumpah adat. Bila ada kepala desa yang melanggar sumpah adat, dipercaya tujuh turunan keluarga kepala desa itu akan mengalami kesialan. "Ada beban sosial,". 

Tradisi lain yang dipertahankan suku Dayak Wehea adalah melestarikan hutan dan alam. Ini terlihat ketika Lembaga Adat Desa Nehas Liah Bing pada 27 Oktober 2005 mengukuhkan keberadaan Hutan Lindung Wehea seluas 38.000 hektare.

Agar hutan tetap rimbun, aturan adat Dayak Wehea menerapkan pembatasan jumlah binatang yang bisa diburu dan hasil hutan yang dapat diambil. Berburu binatang hanya boleh untuk ritual adat dan mengambil tanaman hanya boleh untuk keperluan ramuan obat. Penebangan kayu dilarang.

Untuk mengawasi pelaksanaan hukum adat itu, dibentuk kelompok penjaga hutan yang disebut Petkuq Mehuey. Mereka rutin berpatroli dan memantau kawasan hutan. Keseriusan warga Dayak Wehea di Desa Nehas Liah Bing mempertahankan budaya lokal mereka dalam berbagai sisi kehidupan membuat Bupati Kutai Timur, Awang Faroek Ishak, menetapkannya sebagai desa budaya dan konservasi pada 2006.

SUMBER: Disarikan Dari Liputan Khusus Majalah GATRA pada Oktober 2008.

Tidak ada komentar: